Masjid Agung Demak

Selasa, 15 Februari 2011


PUSAKA DI TEPI KALI JAGA

The desire to all the wali
The eight who made the relic (tilas)
A little something rather grand
Was to create a new mosque
A sacred site of power for the Kingdom of Demak
pusaka for all the kings
Of all the Land of Java
Babad Jaka Tingkir XIV:3
(Diterjemahkan oleh Nancy Florida)

Masjid Agung Demak sudah berusia lima abad, dibangun oleh para Wali Sanga pada masa Kerajaan Demak dibawah kepemimpinan Raden Patah,  sebagai situs kekuasaan dan pusaka bagi seluruh raja serta Tanah Jawa. Sekarang bangunan Masjid telah dikukuhkan sebagai benda cagar budaya dan dilindungi undang-undang.

demak_masjid.jpg
Masjid Agung Demak

Museum Masjid Agung Demak berdiri di samping Masjid. Koleksi Museum terdiri dari beduk dan kentongan Wali abad ke-15, sepotong kayu dari sakatatal Sunan Kalijaga, kitab tafsir Al Qur’an Juz 15-30 karya Sunan Bonang, Pintu Bledeg karya Ki Ageng Sela, gentong masa Dinasti Ming, maket masjid, foto-foto, dll.

demak_saka_guru.jpg
Tempat penyimpanan bekas sakaguru
Berhadapan dengan Museum, hanya dipisahkan taman kecil adalah ruang penyimpanan potongan empat sakaguru atau konstruksi utama yang sudah rusak. Masing-masing adalah bekas sakaguru Sunan Ampel (Surabaya), Sunan Bonang (Tuban), Sunan Gunung Jati (Cirebon), Sunan Kalijaga (Demak).
Adalah sakaguru Sunan Kalijaga yang memiliki nama khusus: Sakatatal. Tatal adalah serpih-serpih kayu yang diketam. Memang ada kisah dari Babad Jaka Tingkir tentang suatu hari yang ditetapkan untuk membangun masjid. Sakaguru yang didelegasikan kepada Sunan Kalijaga masih tidak kelihatan. Sunan Kalijaga sendiri asyik tirakatan di Pamantingan. Sunan Bonang kemudian memanggil dan menegurnya. Sunan Kalijaga lalu mengumpulkan serpihan kayu, sisa-sisa dari sakaguru, tiang, balok yang sudah jadi. Menyusunnya membentuk sebuah tiang, kemudian dengan kekuatan spiritual memampatkan seluruh serpihan menjadi tiang utuh. Demikianlah mengalir dari satu generasi kepada generasi berikutnya tentang Sakatatal yang jadi dalam waktu semalam.
Aku pun, adalah salah satu dari orang yang tidak akan tega menyebut kisah ini legenda. Sebab keindahannya menyentuh hati. Jika saja aku juga diberi anugerah untuk percaya tapi barangkali mengerti dengan cara lain adalah sebuah bentuk anugerah juga. Beberapa saat setelah pulang dari Masjid Demak, aku memang mencoba menemukan cara untukku memahami Sakatatal.

demak_interior_masjid.jpg
Empat sakaguru dalam Masjid Agung Demak
(Sumber: Brosur Masjid Agung Demak. Di dalam Masjid dilarang memotret)

Barangkali, sebagian jawaban terkandung dalam paragraf berikut yang dikutip dari Nancy K.Florida (Writing the Past, Inscribing the Future, 1995).
Arsitek Masjid adalah Wali Sanga, sekaligus mendelegasikan pembagian tugas yang melibatkan semua pihak dalam pembangunannya. Para Wali membangun empat saka guru (tiang atau kolom utama), para wali setelah Wali Sanga saka pangendhit, ulama dan elit spiritual lainnya saka rawa, sedangkan para adipati menyediakan balok primer, keluarga kerajaan serta bangsawan lainnya balok sekunder dan rangka atap. Elit militer menyediakan penopang rangka atap dan pagar. Sedangkan pembangunan penutup atap dari sirap (kepingan-kepingan papan tipis untuk atap, biasanya terbuat dari kayu) berdasarkan sami urunan kewala,yakni kontribusi dari rakyat.
Rencana arsitektur ini menyingkapkan skema hierarki otoritas yang rapi. Di tempat tertinggi adalah Wali Sanga, kemudian elit spiritual lainnya, dan para adipati serta keluarga bangsawan duduk saling berkait (baca: mendukung) dalam struktur sosialpolitik. Elit spiritual dengan tiang-tiang yang berdiri secara vertikal dan elit keraton dengan balok-balok melintang secara horizontal. Militer dengan pagarnya bertanggung jawab sebagai penjaga bangunan dan mengamankan perbatasan. Sedangkan rakyat, ‘The ‘people’ come last, in a multitude of undifferentiated ‘everyones’; they seemingly ‘just chip in’ to cover over the structure and to provide its mass.' (Florida, 1995)

demak_tatal.jpg
Tatal Sunan Kalijaga
Hierarki dalam jaring-jaring sosialpolitik ini jelas, sebagaimana didokumentasi dalam Babad Jaka Tingkir.Tetapi membaca lebih teliti sejarah konstruksi Masjid Agung, akan terungkap adanya subversi, melalui sakaguru yang dihasilkan dari serpih-serpih kayu. ‘For what could be more constestatory of the rigidity of the hierarchy than the fact that its grounding authority is nothing more, or less, than a fabrication from fragments and residues?’ (Florida, 1995)
Barangkali memang tak ada yang lebih bertabrakan dengan hierarki yang rigid daripada kenyataan otoritasnya berasal dari serpih-serpih... 
...
Kalijaga, barangkali adalah sunan yang paling dicintai. Aku rasa, dari seorang tokoh, sebab paling dalam dia dicintai adalah karena dia berpihak, tetapi kepada 'serpih-serpih'...orang-orang kecil, yang terbuang, dan keberpihakannya, mengandung ketulusan dan hati.
Ah iya. Hari ini, biarlah aku ingin merasa jika inilah pusaka yang diwariskan Sunan Kalijaga untuk raja-raja di seluruh tanah Jawa. Pusaka, untuk setiap kita juga.

demak_raden_patah.jpg
Makam Raden Patah (paling kanan)
Berjalan ke belakang dari arah Museum, kita akan menemukan makam Raden Patah (Sultan Demak I, periode kekuasaan 1478-1518); Raden Patiunus (Sultan Demak II, 1518-1521), alias Pangeran Sabrang Lor, pernah memimpin armada gabungan Kesultanan Banten, Cirebon, dan Demak menyerang Portugis di Malaka tahun 1521; makam Raden Trenggana (Sultan Demak III, 1521-1546), dan anggota keluarga kerajaan lainnya.
Salah satu yang mencuri perhatian bagi Anda yang akrab dengan Arus Balik adalah makam Pangeran Seda Lepen (putra kedua Raden Patah) karena Pram sempat menyebutnya di Bab 27, ‘Portugis berpesta lagi di Malaka, juga di Pasai, mengetahui bahwa Trenggono dapat naik ke atas tahta hanya dengan melalui bangkai abang kandungnya sendiri, Pangeran Seda Lepen...’
Hal serupa dikemukakan Prof.Slamet Muljana, 'Dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa Pangeran Seda Lepen dibunuh oleh Sunan Prawata, putra sulung Trenggana...Kiranya, Pangeran Seda Lepen alias Raden Kikin merupakan penghalang bagi Raden Trenggana...untuk mewarisi takhta kesultanan Demak sepeninggalan adipatu Yunus...sebabnya karena Raden Kikin lebih tua daripada Raden Trenggana. Namun, Raden Kikin lahir dari istri ketiga, sedangkan Raden Trenggana lahir dari istri pertama. Itulah sebabnya Sunan Prawata menyirnakan Raden Kikin alias Pangeran Seda Lepen' (Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, 2005).

demak_seda_lepen.jpg
Makam Pangeran Seda Lepen (tengah)
Raden Trenggana mati terbunuh pada tahun 1546, tahta Demak dilanjutkan Sunan Prawata (anak Trenggana). Di tahun yang sama, Pangeran Arya Penangsang (anak Pangeran Seda Lepen) menyerang Demak, membumihanguskan keraton untuk membalas kematian ayahnya serta merebut tahta. Dalam pertempuran Sunan Prawata terdesak ke Semarang dan meninggal dalam pertempuran. Arya Penangsang sendiri tewas tertombak dalam peperangan yang berkobar dengan Jaka Tingkir, menantu Sunan Prawata. Jaka Tingkir kemudian mendirikan Kesultanan Pajang, tak jauh dari Surakarta, bergelar Sultan Adiwijaya.
Perebutan tahta, sengketa sengit saling mencelakakan, tidakkah bahkan telah bermula sejak Antaga dan Ismaya memperebutkan kedudukan sebagai penerus Sang Hyang Tunggal...
Barangkali, jadi orang kecil, orang yang sehari-hari, biasa, adalah ternyata sebuah anugerah. Mungkin memang mesti sekali-kali rayakan kita orang biasa.

0 komentar: